Jakarta (7/110). Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berbicara tentang sistem demokrasi di Indonesia, dalam Rakernas LDII 2023 di Grand Ballroom Minhaajurrosyidin, Jakarta, pada Selasa (7/11). Menurutnya, dahulu sebelum amandemen, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan pemerintahan Indonesia dijalankan oleh wakil rakyat hingga utusan golongan.
Ia menjelaskan utusan golongan merupakan perwakilan masyarakat Indonesia yang menjadi anggota MPR. Pada era Orde Baru (Orba), utusan golongan diisi oleh perwakilan dari berbagai profesi seperti ulama, cendekiawan, buruh, guru, petani, nelayan dan lain-lain.
“Pascareformasi, kita sudah kehilangan satu unsur dalam sistem politik, yakni utusan golongan. Sehingga ketika bicara kepentingan ulama, kepentingan cendekiawan, harus kalah dengan kepentingan partai politik,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, utusan golongan di MPR dihapuskan saat amendemen UUD 1945 pada 1999. Susunan keanggotaan MPR kemudian hanya berasal dari perwakilan politik dan daerah. Dengan keanggotaan MPR hanya berasal dari dua kelompok itu, menurutnya, tak semua kelompok masyarakat bisa terwakili.
Untuk itu, pria yang akrab disapa Bamsoet itu menginginkan sistem demokrasi di Indonesia dapat dikaji kembali. Hal tersebut bertujuan untuk mengakomodasi dan melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk turut berpartisiapasi mengabdi pada negeri lewat kursi legislatif.
Dengan begitu, menurutnya menghadirkan kembali utusan golongan di MPR dinilai penting. Pasalnya, tidak semua aspirasi masyarakat bisa terwakili lewat perwakilan partai politik dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“Sehingga sistem politik yang kita harapkan lewat utusan golongan betul-betul membawa manfaat. Mereka dapat menyerap aspirasi dari golongannya,” ungkapnya.
Bamsoet menjelaskan, pada masa Reformasi, pengambilan keputusan untuk menghapus utusan golongan di MPR dinilai terlalu terburu-buru. Padahal menurutnya, dalam konteks keindonesiaan, praktik kehidupan demokrasi harus dijiwai oleh sila keempat Pancasila. Sila ini mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan dan perwakilan.
“Dalam demokrasi yang kita anut hari ini ternyata masih ngeri-ngeri sedap. Artinya bahwa rupanya kita terlampau cepat memilih sistem demokrasi. Seharusnya, bangsa Indonesia menganut budaya musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan. Semua elemen masyarakat turut menyampaikan aspirasi dari golongannya,” ucapnya.
Menurut Bamsoet, keberadaan utusan golongan juga dinilai penting untuk mengurangi hegemoni partai politik, dan pemegangan kekuasaan yang diisi oleh segelintir orang dengan modal yang besar.
“Pemerintahan demokrasi ini jangan hanya diisi oleh mereka yang memiliki isi tas. Kalau sistem kita tidak diperbaiki, maka yang akan mengisi ruang legislatif di daerah-daerah adalah orang-orang yang memiliki modal kuat, atau dimodali oleh orang yang modalnya kuat,” ucapnya.
Dengan demikian, unsur utusan golongan di MPR menurut Bamsoet tak hanya merefleksikan kebhinekaan. Sekaligus menjadi penjelasan kepada rakyat tentang terserapnya aspirasi semua golongan, dan terpenuhinya kesepakatan semua elemen bangsa yang berdaulat. (KIM*)