Surabaya (25/5). Sekretaris III Kedubes Federasi Rusia, Dmitry Kostin, berkunjung ke kantor DPP LDII, Jakarta, pada Senin (22/5) lalu. Ia memuji Islam di Indonesia yang damai, jauh dari kekerasan. Ia membandingkan dengan masalah kekerasan atau terorisme di Eropa, yang selalu dikaitkan dengan kelompok Islam.
Pujian dari Kostin kerap terdengar, bahkan dari negara-negara lain, “Ini menunjukkan Islam di Indonesia cinta damai dan ramah. Maka, politisasi identitas yang biasanya ditimpakan ke kelompok Islam atau nasionalis setiap Pemilu sudah tidak relevan. Masyarakat Indonesia cukup cerdas untuk tidak terpancing komunikasi politik populis,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat ditemui di ruangan kerjanya di Surabaya, pada Kamis (25/5).
Ia mengajak para simpatisan, bahkan mesin parpol berhenti untuk mempolitisasi agama hanya karena keinginan memenangi Pemilu, “Adab dalam agama dan nilai-nilai moral bangsa Indonesia tidak pernah memberi ruang untuk menjelekkan-jelekkan pihak lain, demi keuntungan diri sendiri,” kata KH Chriswanto.
Ciri komunikasi politik populis yang selalu menyalahkan pihak lain, menurut KH Chriswanto taruhannya terlalu besar, yakni persatuan dan kesatuan bangsa, “Perjuangan sejak 1928 untuk menyatukan bangsa ini bisa sia-sia. Berbagai suku bangsa di nusantara merintis persatuan dan kesatuan ini nyaris seabad dan bisa berantakan hanya karena pesta demokrasi lima tahunan,” tuturnya.
Menjadi nasionalis ataupun nasionalis yang agamis, itu hanya pilihan individu dalam mencintai Indonesia. Untuk itu KH Chriswanto meminta semua pihak tidak mempolitisasi agama, ataupun menggunakan kekerasan atas nama agama.
Senada dengan KH Chriswanto, Ketua Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah DPP LDII KH Aceng Karimullah mengatakan, keindahan umat Islam di Indonesia karena selalu memberikan ruang bagi pemeluk agama untuk berekspresi, “Umat Islam Indonesia memiliki keyakinan Indonesia bukan hanya milik kaum muslim saja. Sebagai mayoritas, umat Islam juga tidak memaksakan kehendak,” kata Kyai Aceng.
Umat Islam di Indonesia bisa melebur dengan agama dan budaya bangsa, karena disatukan oleh ideologi Pancasila dan hidup untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Inilah sumbangan terbesar umat Islam di Indonesia, yakni toleran dan menghormati keyakinan lain.
Menurut Kyai Aceng, pemerintah pun secara bijak mampu menangangi radikalisme dengan tidak selalu menggunakan dengan represif, “Pemerintah mampu menangangi radikalisme dengan preventif dan humanis, yang justru bisa berakhir dengan baik,” tuturnya.
Ia pun mengajak ormas-ormas Islam terlibat aktif dalam gerakan Warung NKRI yang dicanangkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), “Program ini diadakan untuk membuka dialog antar umat beragama. Dialog tentang Pancasila dan kebutuhan umat,” katanya.
“Untuk generasi muda, kami membina anak-anak mulai usia dini atau PAUD. Kami mengajarkan perilaku enam tabiat luhur: jujur, amanah, rukun, kompak, kerja sama yang baik, dan muzhid mujhid. Ini menjadi enam moral basis yang diajarkan pada warga kami,” ia menambahkan. Dengan penananam enam tabiat luhur sejak dini, generasi muda diajarkan untuk saling menghormati, menghargai, dan toleransi demi tujuan bersama, yakni tegaknya Pancasila dan NKRI. (KIM*)