Jakarta (21/5). Pada 21 Mei 1998, Presiden Suharto meletakkan kekuasaannya dan ditandai sebagai awal tonggak Orde Reformasi. Setelah 26 tahun berlalu, banyak perubahan yang terjadi dengan demokrasi Indonesia, Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto mengingatkan, Reformasi jangan sampai memakan anak-anak bangsa dan cita-cita pendirian Republik Indonesia.
“Reformasi bisa memakan anak-anak bangsa, bila liberalisme dalam demokrasi lebih kental. Sementara demokrasi dengan nilai-nilai Pancasila hanya menjadi jargon,” tegas KH Chriswanto Santoso.
Ia pun mengingatkan cita-cita Reformasi agar bisa Indonesia lepas dari bayang-bayang pseudo-demokrasi atau demokrasi semu, “Setidaknya ada empat tutuntan Reformasi, yakni Pemilu yang membuka lebar partisipasi rakyat, pemberantasan korupsi, reformasi hukum dan HAM, dan desentralisasi pemerintahan,” tuturnya.
Namun, menurut KH Chriswanto usai 26 tahun, justru empat hal tersebut masih perlu perbaikan dan mendapat perhatian seluruh elemen bangsa, “Pemilu perlu pengawasan dan penegakan hukum yang kuat. Agar praktek politik uang tidak semakin menjalar. Praktik itu menyulitkan kader partai terbaik untuk memenangi Pemilu. Akibatnya, wakil rakyat bukan persoalan keterwakilan tapi keterpilihan,” kata KH Chriswanto.
Pemberantasan korupsi juga belum membuahkan penurunan angka korupsi yang signifikan. KH Chriswanto mengutip Indeks Persepsi Korupsi 2023 dari Transparency International Indonesia. Skor indeks tersebut stagnan, Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115, “Sementara di bidang hukum dan HAM, penegakan masih memerlukan kolaborasi dengan masyarakat. Bahkan terdapat istilah no viral no justice. Ini menunjukkan penegak hukum harus berupaya lebih keras lagi,” paparnya.
Sementara desentralisasi pemerintahan, masih mengakibatkan peraturan yang tumpang tindih yang menyulitkan investasi, “Reformasi bukan doa paling mustajab, tapi membutuhkan proses perbaikan dan pengawasan. Dua hal itu bila tidak dilaksanakan, Reformasi hanya mengorbankan anak-anak bangsa dan tujuan berdirinya republik ini,” tegas KH Chriswanto.
Senada dengan KH Chriswanto, Sejarawan Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono mengatakan Reformasi tidak hanya mencakup pergantian kekuasaan, atau perubahan kelembagaan. Tetapi juga transformasi budaya politik yang mendorong akuntabilitas dan transparansi untuk mencapai cita-cita bangsa.
“Hendaknya Reformasi itu tidak hanya sekadar kebebasan untuk saling berebut kekuasaan melalui cara-cara tertentu yang dilegalkan sesuai aturan, tetapi hendaknya sebagai upaya bagaimana hak-hak kesejahteraan publik, dan hak-hak ekonomi publik itu juga didistribusikan secara merata,” lanjut Singgih.
Singgih melanjutkan meskipun telah berlalu lebih dari dua dekade sejak gerakan reformasi dimulai, perjalanan ini belum mencapai puncaknya. Singgih yang juga merupakan Ketua DPP LDII ini mengajak generasi muda untuk menjadikan peristiwa reformasi sebagai bagian dari sejarah untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.
“Peristiwa reformasi ini memberikan inspirasi untuk generasi kita sekarang bahwa apapun perubahan-perubahan yang dilakukan oleh banyak pihak semestinya tetap berorientasi untuk mewujudkan cita-cita kita,” ungkapnya.
Dengan demikian peringatan Reformasi bukanlah hanya sekadar kenangan sejarah untuk bernostalgia belaka, namun menjadi momentum untuk memahami reformasi sebagai sebuah spirit dan gagasan untuk mendorong masa depan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan cita-cita bangsa.
“Bagaimana kita memandang reformasi dari sisi semangat untuk melakukan pembebasan terhadap segala macam bentuk penindasan dan ketidakadilan untuk mencapai masyarakat Indonesia yang lebih adil, lebih merata, lebih sejahtera, lebih maju, lebih demokratis, dan lebih beradab,” tutup Singgih. (KIM*)