Depok, Jawa Barat (11/3). Untuk menentukan awal Ramadan 1445 H, Kementerian Agama RI menggelar sidang isbat di Auditorium H.M Rasjidi, Kemenag, Jakarta Pusat, Minggu, 10/3. Sidang isbat itu melibatkan Tim Hisab Rukyat Kemenag, perwakilan ormas Islam, para duta besar, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi VIII DPR RI.
Melalui konferensi pers, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan bahwa hilal sudah di atas ufuk dan tidak memenuhi standar kriteria baru serta ketiadaan laporan penglihatan hilal. Sehingga 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada 12 Maret 2024. Kementerian Agama menggunakan standar kriteria visibilitas tersebut disepakati Menteri Agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021 dengan derajat hilal menjadi 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan itu menjadi pedoman penetapan bulan Qomariyah.
Berdasarkan hasil sidang tersebut, Menteri Agama berharap seluruh umat Islam tetap menjalankan ibadah puasa dengan kekhusyukan. “Meski masih ada perbedaan, namun hal itu lumrah namun harus tetap menghormati dan menjunjung toleransi sehingga tercipta lingkungan yang kondusif,” ujar Yaqut.
Mengutip detikcom, pada seminar perhitungan astronomi terkait 1 Ramadan yang digelar menjelang sidang isbat, anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag Cecep Nurwendaya menjelaskan bahwa posisi hilal di Indonesia masih rendah, dengan ketinggian kurang satu derajat dari standar visibilitas. “Standar 2 derajat saja mustahil, karena itu hilal belum bisa diamati,” ujar Cecep.
Sementara itu, anggota Departemen Pendidikan Keagamaan, dan Dakwah (PKD) DPP LDII yang saat itu hadir di Kemenag, Wilnan Fatahillah juga mengatakan, dari ketinggian derajat hilal di Indonesia belum memenuhi syarat, berdasarkan pengamatan LDII di 73 titik. “Karena itulah, Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Dari rukyatul hilal yang dianut, metode hisab dan rukyat tidak bisa dilakukan terpisah,” kata Wilnan.
LDII ikut andil mengamati hilal pada 73 titik di berbagai daerah setelah sebelumnya, DPP LDII tiga kali menggelar pelatihan rukyatul hilal. Selain melaksanakan simulasi pengamatan, pelatihan itu mengedepankan pemahaman ilmu falakiyah secara fundamental.
Menurut Pahala Sibuea, anggota Departemen Litbang, Iptek, Sumber Daya Alam (LISDAL) DPP LDII, hisab rukyat adalah metode perhitungan dan pengamatan hilal untuk menjadi data ketinggian derajat bulan dan waktu perhitungan ufuk, “Meski secara hisab sudah mengetahui hasilnya, namun hasil tetap diputuskan melalui sidang isbat,” kata Pahala.
Secara hukum Islam, pengamatan hilal termasuk salah satu kebiasaan yang dicontohkan Rasulullah SAW pada zamannya, hal itu diungkapkan Pengasuh Ponpes Nurul Aini, Cilandak, Jakarta Selatan, H. M. Jarir.
Ia menjelaskan bahwa metode rukyatul hilal penentuan Ramadan, dilihat dari tanggal 1 Sya’ban dan dilakukan pengamatan kembali pada tanggal 29 terkait status hilal sudah terlihat untuk masuk kepada 1 Ramadan. Mengutip hadits Nabi, jika hilal belum terlihat, maka Sya’ban perlu disempurnakan menjadi 30 hari, demikian juga berlaku untuk Ramadan.
“Sebab masalah ibadah tidak bisa sembarangan, tidak bisa ada ucapan dusta atau persaksian dusta, karena jika hilal belum benar-benar terlihat, maka tak bisa dilakukan,” ujarnya.
Laporan tim rukyatul hilal LDII di berbagai daerah menyatakan hilal belum terlihat karena cuaca yang mendung di beberapa titik pengamatan tersebut. Tim pengamatan hilal LDII di Sumatera diantaranya di Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Palembang, Kepri, Lampung, Padang dan Jambi. Dari Pulau Jawa informasi didapat dari Banten, Jakarta, Subang, Bandung, Pelabuhan Ratu, Lamongan, Bojonegoro, Bangkalan, Sumenep, Jember, dan lainnya.
Sementara tim lain di luar Jawa antara lain Palu, Makassar, Mamuju, Bali, Maluku, Jayapura, Manokwari, Mataram, Palangkaraya, Tanah Laut dan lainnya.