Depok, (19/4) – Dalam penentuan Hari Raya Idul Fitri akan berpotensi ada perbedaan antara dua arus utama umat Islam di Indonesia. Melihat perbedaan pandangan tersebut, Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengingatkan agama merupakan masalah keyakinan, dan sesama umat beragama bisa menghormati perbedaan.
“Terutama terkait perbedaan penentuan Hari Raya Idul Fitri, memang terdapat dua metode yakni wujudul hilal dan rukyatul hilal. Dengan demikian kita kembalikan kepada keyakinan masing-masing, dan jangan ada pihak yang mempertajam perbedaan tersebut. Semuanya harus bijak demi ukhuwah Islamiyah,” ujar KH Chriswanto Santoso
Dalam pandangan DPP LDII, perbedaan metode untuk menentukan 1 Ramadan maupun 1 Syawal merupakan hal yang biasa. Masing-masing umat ormas Islam berhak menentukan metode mana yang digunakan untuk menentukan hilal.
“Soal metode menentukan bulan baru, memang berbeda. Wujudul hilal itu menghitung atau hisab penanggalan. Namun rukyatul hilal pun sebenarnya tidak bisa meninggalkan hisab. Untuk menentukan, sebenarnya harus dihisab dulu. Tinggal keputusannya, berdasarkan hisab saja atau rukyah,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso saat media gathering bersama awak media di Kantor DPP LDII, Jakarta, pada Senin (17/4).
Ia menegaskan, ormas Islam dipersilakan menggunakan dua metode tersebut. Namun LDII dalam menentukan hilal memilih menggunakan metode rukyatul hilal. “Dalam hal ini, LDII sejak dulu mengikuti pemerintah, karena ada kesamaan metode dalam menentukan bulan baru dengan rukyatul hilal,” tambahnya.
Terlebih lagi, penggunaan metode hisab dan rukyat dibenarkan dalam menentukan hilal. Untuk itu, meski LDII berkeyakinan menggunakan metode rukyatul hilal, tapi juga menghargai umat yang menggunakan metode hisab, “Dengan dasar itu, sikap LDII adalah menghargai yang menggunakan metode wujudul hilal dengan hisab sebab itu masalah keyakinan. LDII secara institusi berpegang pada rukyatul hilal,” tambahnya.
Jangankan hisab rukyat yang terdapat perbedaan, sambung KH Chriswanto, sama-sama menggunakan metode rukyat pun terdapat perbedaan. Perbedaan itu terdapat pada batas minimal derajat ketinggian hilal, “Kalau kesepakatan MABIMS (Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura) batas minimalnya adalah di atas 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Kenapa ada ketentuan itu, karena bila di bawah 3 derajat hilal tidak akan terlihat. Itupun harus menggunakan teropong untuk bisa melihat hilal secara jelas,” jelasnya.
Untuk memenuhi standar tersebut, LDII telah mengadakan pelatihan secara nasional sehingga LDII memiliki banyak pengamat yang bisa mengamati hilal di titik-titik pengamatan yang telah ditentukan. “LDII sering melakukan pelatihan hisab rukyat juga untuk untuk memahami perbedaan,” ujar KH Chriswanto.
KH Chriwanto mengimbau, jangan ada pihak yang mempertajam itu, bagi yang puasanya 29 hari jangan mencela orang yang puasanya disempurnakan 30 hari, begitu juga sebaliknya. Karena semua itu adalah keyakinan masing-masing umat, “Jangan sampai umat dikorbankan dengan perbedaan yang bersifat furu’ dan kecil. Sangat disayangkan jika hal itu terjadi. Jangan membesar-besarkan perbedaan hanya karena egoisme,” tutupnya.