Jakarta (17/3). Bencana banjir di sejumlah wilayah seperti di Pesisir Selatan Sumatera Barat, Pesisir Utara Jawa yang memutus perjalanan kereta Jakarta-Surabaya, dan beberapa wilayah di Kalimantan mengundang keprihatinan berbagai pihak. Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengimbau mental kebencanaan, termasuk sadar lingkungan harus terus ditingkatkan.
“Bencana hidrometeorologi ini selalu berulang, tanah longsor dan banjir membayangi masyarakat. Pengulangan inilah yang harus jadi perhatian semua pihak, agar bisa diantisipasi. Mental kebencanaan harus terus ditumbuhkan, baik di pihak berwenang terutama kepala daerah dan masyarakat,” ujar KH Chriswanto dalam keterangannya.
Menurutnya, bencana tidak memilih waktu namun memiliki pola yang jelas. Ramadan tahun ini, saat umat Islam harus menahan diri dan berkutat dengan menahan lapar dan dahaga, harus berhadapan dengan bencana, “Ini kesulitan yang luar biasa namun terdapat hikmah di baliknya. Sudah menjadi sunatullah. Saat kita peduli lingkungan, alam juga memberi manfaat bagi umat manusia. Alam bisa memberi kehidupan dan penghidupan, jangan kita abai pada lingkungan,” tutur KH Chriswanto.
Menurutnya, selain penanganan saat bencana atau musibah, hal yang sangat penting juga untuk mengantisipasi bencana hidrometeorologi. “Langkah mitigasi bencana harus dilakukan kepala daerah dengan membuat aturan yang jelas dan mengevaluasinya. Mitigasi, penghijauan dan larangan permukiman di wilayah-wilayah rawan longsor. Penghijauan baik di daratan maupun pesisir laut dan sungai, menghindarkan lahan tergerus. Hutan yang terjaga merupakan wilayah penahan air dan banjir,” ujar Chriswanto.
Senada dengan KH Chriswanto, akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Atus Syahbudin mengungkapkan, pemicu bencana hidrometeorologi adalah aktivitas dan jumlah manusia yang terus meningkat. “Serta abainya upaya pelestarian lingkungan hidup,” katanya.
Akibatnya, menurut Atus yang juga Ketua DPW LDII Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu, luasan hutan di Indonesia semakin berkurang. “Sementara itu, laju pembangunan dan pengusahaan sumber daya mineral terus meningkat. Sehingga, cenderung merusak ekosistem dan membuat alam semakin melemah,” urai Atus.
Melihat fenomena tersebut, maka langkah mitigasi bencana mutlak dilakukan. Menurut Atus, mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, “Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mendorong berbagai aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” ujar Atus.
Misalnya, sejak 2012 digulirkan Program Kampung Iklim (ProKlim). Dimulai dari tingkat tapak, yakni dusun atau kelurahan di pedesaan atau RW atau kelurahan di perkotaan. “Dengan demikian, aksi adaptasi dan mitigasi terhadap dampak negatif perubahan iklim dapat dilakukan, termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” imbuhnya.
Sementara itu, untuk memitigasi risiko bencana, diperlukan analisis terhadap ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko. “Ancaman atau bahaya, adalah penyebab celaka, cidera, serta hilangnya harta benda dan nyawa,” jelasnya.
Implementasinya, diperlukan sesegera mungkin beberapa peta zonasi daerah rawan bencana. “Seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Validasinya melalui kejadian sesungguhnya. Dengan tingkat ancaman rendah, sedang, atau tinggi, tergantung irisan antara indeks penduduk terpapar dan indeks ancaman,” ujarnya. (KIM*)