Jakarta (2/6). Menjelang momen Idul Adha 1443 Hijriah, terjadi wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak terutama sapi dan domba. Hal ini cukup mengganggu terkait sah dan tidaknya hewan tersebut dijadikan sebagai hewan kurban. Menyikapi kondisi tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa MUI Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah PMK.
Panduan MUI Cegah Peredaran Wabah PMK
1. Umat Islam yang akan berkurban dan penjual hewan kurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan kurban memenuhi syarat sah, khususnya dari sisi kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Umat Islam yang melaksanakan kurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung proses penyembelihan.
3. Umat Islam yang menjadi panitia kurban bersama dengan tenaga kesehatan perlu mengawasi kondisi kesehatan hewan dan proses pemotongan serta penanganan daging, jeroan, dan limbah.
4. Dalam hal terdapat pembatasan pergerakan ternak dari daerah wabah PMK ke daerah lain yang menyebabkan kurangnya stok, maka umat Islam yang hendak berkurban:
a. dapat berkurban di daerah sentra ternak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mewakilkan (tawkil) kepada orang lain.
b. berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang menyelenggarakan program pemotongan hewan kurban dari sentra ternak.
5. Lembaga Sosial Keagamaan yang memfasilitasi pelaksanaan kurban dan pengelolaan dagingnya agar meningkatkan sosialisasi dan menyiapkan layanan kurban dengan menjembatani calon pekurban dengan penyedia hewan kurban.
6. Daging kurban dapat didistribusikan ke daerah yang membutuhkan dalam bentuk daging segar atau daging olahan.
7. Panitia kurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban diwajibkan menerapkan prinsip kebersihan dan kesehatan (higiene sanitasi) untuk mencegah penyebaran virus PMK secara lebih luas.
8. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban bagi masyarakat muslim. Namun, bersamaan dengan itu Pemerintah wajib melakukan langkah pencegahan agar wabah PMK dapat dikendalikan dan tidak meluas penularannya.
9. Pemerintah wajib memberikan pendampingan dalam penyediaan, penjualan, dan pemeliharaan hewan kurban untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban.
10. Pemerintah wajib mendukung ketersediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal agar penyebaran virus PMK dapat dicegah semaksimal mungkin.
Hukum Hewan Kurban Terkena PMK
Sementara itu, terkait sah dan tidaknya hewan kurban yang terkena PMK, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam menjelaskan saat jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (31/5/2022).
Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan hukumnya sah dijadikan hewan kurban, seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya. Sementara hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban, seperti lepuh pada kuku sampai terlepas, pincang, tidak bisa berjalan, dan menyebabkan sangat kurus.
Asrorun Niam menambahkan, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang diperbolehkan kurban yakni tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah, maka hewan ternak tersebut sah dijadikan hewan kurban. “Untuk hewan yang terjangkit PMK dengan gejala klinis kategori berat tapi sembuh dari PMK setelah lewat rentang waktu yang dibolehkan berkurban yakni tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah, maka sembelihan hewan tersebut dianggap sedekah,” jelasnya.
Imbauan DPP LDII
Memperkuat Fatwa MUI Nomor 32 Tahun 2022, Departemen LITBANG, IPTEK dan Sumberdaya Alam (LISDAL) DPP LDII mengimbau kepada panitia kurban agar berusaha semaksimal mungkin di dalam membagikan daging kurban supaya memanfaatkan bahan-bahan yang ramah lingkungan seperti besek, daun jati, dll. “Jika terpaksa menggunakan plastik/kresek, maka diupayakan dengan plastik yang dapat terurai dengan cepat, seperti telobag, dll,” kata Atus Syahbudin,
Anggota Departemen LISDAL DPP LDII. Selanjutnya, saat membersihkan jeroan hewan kurban dan darahnya betul-betul memperhatikan keselamatan dan kebersihan lingkungan, antara lain dapat dipendam di dalam tanah atau saluran pembuangan limbah yang sudah dikelola dengan baik. “Kotorannya jangan dibuang di dalam saluran air yang digunakan oleh masyarakat sekitar,” kata Atus. (KIM*)